TELAAH KRITIS TERHADAP PRAPERADILAN JAMINAN PERLINDUNGAN HAM SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PPU-XII/2014 DALAM PERSPEKTIF PERADILAN PIDANA
Abstrak
Hal prinsif yang merupakan kemajuan dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berlaku sejak tanggal 31 desember 1981 sampai sekarang, yaitu adanya Lembaga praperadilan diatur didalam bab X pasal 77 sampai dengan pasal 83,namun dalam ketentuan tersebut tidak ada menyebutkan mengenai wewenang hakim praperadilan menetapkan sah tidaknya penetapan tersangka oleh penyidik, walaupun parameter minimal 2 (dua) alat bukti merupakan kata kunci dalam penetapan tersangka, akan tetapi minimal 2 (dua) alat bukti itu bukan merupakan parameter yang independent. Karena perolehannya dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasarnya. Oleh karena itu perolehan faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi sah tidaknya perolehan minimal 2 (dua) alat bukti yang akan memberikan dampak akhir pada sah tidaknya penetapan tersangka oleh penyidik. Berkaitan dengan tugas mengadili hakim sebagai pelaku utama kekuasaan kehakiman dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim memiliki kewajiban diantaranya : wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Maka hakim dalam perkara praperadilan berwenang menguji (menilai) kinerja hasil penyidikan dari penyidik, yaitu terhadap segala sesuatu yang mendasari dan terjadi dalam penyidikan akan turut memberikan pengaruh terhadap penetapan tersangka, sebagai orientasi utama dari adanya penyidikan. Karena itu segala sesuatu yang mendasari dan terjadi pada proses penyidikan yang berdampak pada penetapan tersangka ikut dipertimbangkan dalam menentukan sah tidaknya penetapan tersangka dengan berpedoman pada hakikat praperadilan yaitu sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam perspektif peradilan pidana, maka pembaharuan KUHAP secara tegas harus menyisipkan kewenangan hakim praperadilan dalam menetapkan sah tidaknya status tersangka oleh penyidik
Referensi
Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre-Trial Justice Dan Diseretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2014
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Sabta Arta Jaya
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1998
Edy O.S Hiariej, Teori Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012
H.M Mansur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional, Cet I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Muladi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad 1848 Nomor 16 Jo Staatsblad Tahun 1926 Nomor 559, Jo Staatsblad 1915 Nomor 732);
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad Tahun 1915-Nomor 732);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dokumen Hukum
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XV/2017
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN Jkt. Sel.
Laporan Andi Moctar Ketua Komisi Gabungan III Dan I Dpr-Ri Tentang Jalannya Pembahasan Dalam Pembicaraan Tingkat III Atas Ruu Hukum Acara Pidana, 2007, “Proses Pembahasan Ruu Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 1979” Bidang Arsip Dan Dokumentasi Pusat Pengkajian Pengolahan Data Dan Informasi Secretariat Jendral DPR-RI, Jakarta





